Sebenarnya saya ingin mengganti judul di atas, sebab saya takut kalau akhirnya akibat judul tersebut, tulisan saya berikut ini menjadi tidak bersemangat. Tapi sepertinya memang begitulah keadaannya, dan saya pikir judulnya juga cocok untuk tulisan saya ini.
Setelah sekian lama duduk, terus tiduran di depan pesawat televisi, saya tidak dapat menemukan acara yang menarik untuk ditonton. “Kok tidak ada yang mutu sih”, pikir saya. Saat itu adalah malam senin, alias Minggu malam, sekitar jam 8 malam. Benar-benar tidak ada yang bagus acaranya – menurut saya tentunya. Dari channel satu ke channel yang lain, hampir semuanya menyajikan acara Sinetron, yang temanya sama yaitu: “Hantu!â€, demikian kata anak saya yang baru berumur 2,5 tahun sambil ketakutan minta ganti channel.
Belakangan ini memang sinetron “Hantu!†bergentayangan dan memenuhi saluran televisi. Yang saya maksud dengan sinetron “Hantu!†adalah sinetron misteri yang ‘berbaju’ agama dan mengambil setting cerita tentang akibat/hukuman bagi si mayat pelaku tindakan dosa. Karena ada satu sinetron yang sepertinya sukses tayang, judulnya saya lupa; “Misteri Ilahi†apa “Rahasia Ilahiâ€, maka stasiun tv yang lainnya mengikuti jejak misteri dan rahasia hantu, eh ilahi tersebut.
Mungkin benar, itu adalah hak stasiun tv tersebut untuk menampilkan acara semau dia asalkan tidak bertentangan dengan hukum. Mungkin benar juga bahwa, dengan pertimbangan strategi bisnis mereka menayangan sinetron “Hantu!â€, bahkan dalam prime-time. Mungkin … yang ini perlu ditindaklanjuti, apakah benar atau tidak, bahwa sebagian besar masyarakat menyukai atau tidak terhadap acara tersebut. Kalau menurut survey rating mereka, tentu masyarakat menyukai. Yang perlu dicermati adalah, apakah mereka menyukai karena memang bagus, apa karena tresno jalaran soko kulino (Menyukai karena sudah terbiasa), karena harus memilih yang terbagus dari yang terjelek jelek jelek.. (jelek Lu!, hehehe).
Kalau saya si A, si aktivis, atau politikus, atau orang yang didengar suaranya… (ngga mungkin..), saya tentu akan bergumam (bunyi kentutpun, pasti akan didengar, kalau itu dari orang beken), di mana sih tanggung jawab moral mereka? Mereka itu maksudnya siapa? Ya yang punya stasiun tv, produser, tim kreatif, dll. Masa sih mereka tidak dapat membuat acara yang bagus.
Ya ya ya, saya tahu, mereka masih dalam tahap belajar ( si A lho ini yang ngomong), so strategi bisnis mereka juga masih risk averse, follower, reactor; yaitu masih mengikuti, masih latah, masih gagap dengan ide orang lain yang sukses. Dengan kata lain, daya kreativitas dan inovasinya belum dapat diperhitungkan. Sejauh ini, jarang sekali ada karya seni di televisi atau film yang ‘menggigit’ dari para insan seni. ( Walaupun terdengar kabar kalau Miles alias Mira Lesmana, producer dan Sutradara Petualangan Sherina, AADC, dan terakhir Garasi, dinominasikan untuk mendapat piala Oscar.)
Saya (nah kalo ini baru ‘suara’ saya), sering terkagum melihat karya seni, terutama film hasil karya negri orang. Dalam bagian penutup, saya selalu akan dengan sabar membaca satu persatu nama-nama orang / institusi yang turut menghasilkan hasil karya tersebut, meskipun kadang panjang sekali dan sangat komplit. Tapi kalau sinetron local, sedikit sekali nama-nama orangnya… (apa jangan2 yang membikin dan ikut main adalah ‘boneka’ atau NN ?). Kalau ditulis dengan font dengan ukuran tulisan yang ada di sini, mungkin tidak sampai setengah halaman kuarto (ïŠ), yang ada malahan ucapan terima kasih… (hmm, bagus juga, masih berterima kasih), tentunya kepada sponsor, yang sebenarnya lambangnya atau produknya sudah bertebaran di sepanjang sinetron.
Mungkin itu yang membuat saya kecewa. Saya kecewa, kenapa saya tidak dapat main sinetron.. eh salah. ïŠ Kenapa, terjadi kesenjangan yang sangat jauh. Karya di negeri kita tertinggal jauh di belakang. Kalau mau digeneralisasi, sebenarnya dalam segala hal kita selalu ketinggalan (“Tanya kenapa!â€ ïŠ ), kecuali si-komeng dengan sepeda motornya yang diteriaki “Kepagian mas…†Mungkin benar juga bahwa ada yang bilang bahwa Tuhan telah menciptakan DNA bagi orang-orang Indonesia lebih rendah kualitasnya dalam berinovasi dibandingkan negeri lain. DNA orang Indonesia adalah DNA orang yang baru dapat “memakaiâ€, lebih kreatif sedikit: “membajak/meniruâ€, instead of berkreasi. (Bener ngga?) Begitulah. Insan seni televisi kita, tidak dapat (atau sedikit sekali) memproduksi tayangan (bukan sekadar hiburan), yang bermutu. Karyanya tidak memberikan semangat bagi yang menonton untuk menjadi kreatif. Tidak memberikan inspirasi bagi penontonnya.
Terus kenapa pula, sinetron “Hantu!†tersebut temanya cenderung berupa hukuman / punishment. Apakah masyarakat kita sekarang cenderung gembira menyaksikan orang lain yang dihukum; hobi membaca dan menonton berita kriminal? Entahlah… kenapa kita (?) senang sekali memandang sesuatu dari sisi negatifnya. Bahkan merepresentasikan kebanyakan manusia berperilaku negative. Bukankah banyak sekali, minimal tidak sedikit, orang-orang baik yang ada disekitar kita, keluarga kita, teman sekantor kita, tetangga kita, pak erte kita, tukang Koran kita, … (heheh kita sendiri bagaimana..?) Menurut saya, akan lebih efektif jika dalam menyampaikan ‘pelajaran’ melalui sisi positifnya, memberikan reward, bukannya menjatuhkan punishment. Tapi entahlah kenapa, kita ‘didik’ dan ‘mendidik’, belajar dan mengajar untuk senang terhadap punishment tersebut. Itulah kenapa saya sering ‘mendidik’ Salma, anak saya kalau nakal dengan ancaman, ‘…nanti ayah cubit lho pantatnya’ (heheh kenapa mesti pantatnya ya?) Horee… saya asli orang Indonesia.
Sebenarnya, kalau saya producer acara tv, saya akan membuat acara yang bertentangan dan melawan arus dengan sinetron “Hantu!â€. Kenapa? Pertama, Saya tidak suka dengan iklannya yang kadang-kadang ngagetin, tahu-tahu nongol dengan wajah menyeramkan (asli ngga sopan banged). Kedua, Sinetron tersebut benar-benar tidak mendidik. Mereka kebanyakan (atau yang sinetron pioneer nya), mengklaim isi ceritanya berdasarkan kisah nyata. Mau mematahkan argument mereka? Gampang saja. Nah, sekarang kan demikian banyaknya kejahatan di negeri ini. Ada tindakan korupsi, durhaka kepada orang tua, ‘menyikat’ atau memanipulasi dan sejenisnya terhadap harta untuk amal, anak yatim; pemimpin yang ingkar, dsb. Tapi tidak ada berita di Koran atau di tv, ada mayat yang ditolak oleh bumi, yang mengeluarkan cairan hitam, pokoknya yang serem2 seperti di cerita mereka. Ketiga, acaranya tidak memberikan inspirasi dan mendorong penontonnya untuk menjadi lebih baik. Bagi kebanyakan orang, acara tersebut hanyalah sekedar hiburan, atau lucu-lucuan belaka.
Coba kalau sinetron tersebut isinya tentang orang yang berbuat baik. Tentunya ini juga dari kisah yang nyata, atau setidaknya tidak norak seperti reality show “Toloongâ€; Pasti akan lebih menarik, jika digambarkan once upon a time, di suatu tempat ada orang yang berbuat baik dan tidak mengharapkan sesuatu atas perbuatan itu. Tapi ternyata perbuatannya tersebut memberikan kebaikan bagi yang lain dan dia mendapat ‘hadiah’ (boleh materi, cinta, atau yang lain) akibat perbuatannya tersebut. Tidak usahlah dibungkus nuansa agama, murni kemanusiaan, pasti akan sangat menarik ceritanya dan memotivasi penonton (dan negeri ini) untuk menjadi lebih baik. Sekali lagi: masih banyak hal-hal dan orang-orang baik di negeri ini. Dan bukankah semuanya akan lebih senang kalau pada akhirnya ‘happy ending’ ?
panjang betul tulisannya bu…:)
iya ya… ternyata panjang juga setelah saya baca sendiri 🙂
btw, saya bukan ‘bu’ lho.. saya ‘Pak’
assalamualaikum pak…
salam kenal
bener juga pak. dan saya juga punya tulisan soal ini (siapa tau mau bertukar pendapat…), silakan liat di http://awandiga.blogspot.com/2005/12/kumis-siksa-kubur.html
wassalamualaikum wr.wb.
Wa’alaikum salam wr wb Awan Diga,
Saya setuju juga dengan tulisan anda. Jangan2 banyak yang ‘gemes’ juga ya melihat kondisi tersebut.
setujuu…
aihh,, aku sampe gregeten baca, ga selesai2.. hehehe
padahal aku juga pengin bisa nulis panjanggg [“Tanya kenapa!â€ ïŠ ]
piss,, salam loenpia 🙂