Berkibarnya Bendera

Sumber gambar: unsplash.com.

Dulu, guru bahasa Inggris saya di sekolah sepertinya terkena kasus kedisiplinan. Beliau tidak mau menghormat kepada bendera negara RI, bendera merah putih. Tidak jelas apakah memang hanya karena kasus itu, atau ada kasus lainnya. Yang saya tahu, katanya, hormat kepada bendera adalah hal (perilaku) bid’ah. Perilaku yang tidak diajarkan secara puritan, dan diada-adakan tanpa nash yang jelas.

Lambat laun (sambil melawan tua, *halah) saya paham, memang banyak orang yang cara berpikirnya berbeda-beda. Dan saya 100% memahami alasannya. Justifikasi, interpretasi, pemahaman (nenek elu, *eh) bisa salah, tapi semua orang pasti merasa paling benar. Apalagi dalam pandangan pemikiran yang cuma monokrom hitam putih: kalau aku benar, pasti kamu salah!

Udah, saya tak mau nyari siapa yang salah.

Tadi sore, di perjalan saya ke stasiun Gambir, banyak ruas jalan ditutup. Rupanya aksi demo 211 Bela Tauhid berangsur usai. Masih terlihat kerumunan massa di bundaran air mancur sana. Karena jalan ditutup, akhirnya jalur saya dialihkan melalui jalan Kebon Sirih.
Di sepanjang jalan, saya melihat banyak peserta yang membawa dan mengibarkan bendara bertuliskan lafadz tauhid. Tak jarang di antara mereka adalah ibu-ibu dengan menggendong anak balita bahkan bayi. Tak lepas pula dari lirikan saya, banyak pula terlihat generasi muda yang ghirohnya sedang menyala-nyala, seperti kaum tua senior citizen yang baru saja gajian. Ada juga sepertinya terlihat dedek2 ukhti, namun saya abaikan saja. Sepertinya.

Di dalam ketegangan dan ketakjuban kibaran-kibaran bendera putih dan hitam, hitam dan putih, tiba-tiba indra saya seperti tercerahkan! Ya, saya melihat ada pemuda yang membawa bendera merah putih. Berkibar! Ah, hati kecil saya seketika bahagia entah mengapa. Namun janganlah kamu tuduh saya ini nasionalis, karena saya orangnya biasa saja, dan bahkan pernah labil *pengakuan.

Saya menyayangkan hanya karena hal bendera (stop, iya iya saya tahu di sana ada lafadz tauhidnya), urusan jadi ora wis uwis. Berapa banyak resources, cost yang harus dialokasikan. Kalau kamu mau mendebat pendapat saya, tidaklah mengapa, karena pendapatmu juga pasti (kamu yakini itu) benar. Wis to?

Saya jadi teringat, ada istilah “pinjam bendera” untuk menggantikan ungkapan meminjam nama entitas bisnis untuk memperjuangkan suatu proyek. Praktik yang banyak dilakukan, dan selanjutnya semua mafhum. Semoga demo tadi sebenarnya bukan juga aksi pinjam bendera dalam arti yang harafiah.

Orang boleh bangga dengan identitas, dengan simbol dan predikat. Semua punya nama, punya ciri khas, punya panggilan. Itulah yang membedakan semua. Maka dari itu marilah kita berbangga bersama. Seeee-puas2nya! Dan akhirnya marilah juga merasa “biasa saja” bersama, karena semuanya adalah sunatullah. Bilang aja semuanya tahu2 begitu, nggak tahu mengapa. Seperti halnya perasaan kamu yang tersesat ke sini dan terlanjur malas membaca kelanjutan tulisan ini.

Namun dari semua bendera yang ada, mau kah kamu kalau saya kasih tahu; bahwa ada sebuah bendera yang bisa dikibarkan dan membawa aura eufora dalam histeria (wis ben!) yang menyenangkan. Ia lah bendera Slank! Dia bisa berkibar di acara dan keramaian apa saja. Bisa di turnamen sepak bola, bahkan di konser apapun juga bisa: rock, dang dud maupun koplo!

Wis ah, mulai ngawur. Itu saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *