Friday, September 30, 2005
Beberapa hari yang lalu saya mendapat kiriman email dari salah satu mailing list yang saya ikuit. Dalam email tersebut ada attachmentnya. Karena sibuk dengan pekerjaan dan saya pikir tidak urgent sekali, email tersebut baru saya buka tadi pagi.
Ini mungki memang soal selera, tapi sebenarnya saya sering berpikir dengan attachment yang ada diemail tersebut. Email yang barusan saya buka tersebut berattachment sebuah file MS Power Point (PPT).
Tanpa bermaksud meremehkan si pembuat file tersebut, sepertinya menurut saya, file tersebut tidaklah worthed jika dipresentasikan dengan PPT, karena tidak ada yang ‘special’ dari file tersebut, isinya juga text biasa, dan kenapa ‘harus’ menggunakan PPT, kalau hanya menggunakan fitur background. Sekali lagi memang ini soal selera. Atau saya yang terlalu ‘usil’ dan sok idealis? Entahlah. Saya hanya berpikir dan mencoba membandingkan jika tidak menggunakan PPT.
Yang pertama, jelas dengan format PPT, ukuran file yang dikirimkan menjadi besar. Berapa space yang dibuang percuma seandainya bisa digantikan dengan yang lain, walaupun mungkin ada yang bilang bahwa harga space / media penyimpanan cenderung untuk turun. Tapi tetap saja namanya pemborosan. Belum hal ini akan menambah kinerja jalur komunikasi komputer (network transmission) dalam hal mengirimkan file tersebut melalui email. Iya kalau penerimanya mempunyai software PPT. Hmm kok saya jadi nulis begini ya?
Idealnya dan kadang saya punya ide, seandainya saja ada lembaga, atau organisasi yang mengurusi hal-hal yang demikian. Terserahlah apa namanya: Lembaga Ketertiban dan ketepatan nasional, Komisi Penegak Budaya Tepat Guna, Proper and Worthed Commision Watch, dll.. hehee (*politician mode). Mungkin Indonesia akan menjadi lebih baik. Saya hanya kadang bisa bingung sendiri kok bisa ya banyak orang sepakat untuk melakukan sesuatu dan berbudaya dengan tidak memperhitungkan apakah usaha yang dia lakukan itu akan memberikan imbal hasil yang sepadan dengan usaha tersebut (worth it)?
Beberapa hari yang lalu dijalan yang biasa saya lalui (dan sekarang juga masih) ada posko atau apalah namanya, ditengah jalan meminta sumbangan untuk pembangunan masjid. Saya lihat sepertinya tidak banyak yang melempar selembar dua lembar rupiah ke jaring penangkap ikan yang disodorkan ke semua kendaraan yang lewat.
Yang jadi pertanyaan saya, apakah worth it melakukan hal yang demikian? Dan kenapa ‘budaya’ ini belum sirna juga. Terlepas dari niat mereka untuk ‘berbuat baik’ , sepertinya menurut saya cara yang demikian tidaklah tepat guna bahkan cenderung menimbulkan sentimen negatif bagi orang yang tidak sependapat dengan mereka. Lihatlah di tengah jalan dipasang drum, sebagai pemisah lajur. Trus disitu duduk (atau kadang berdiri) minimal 2 pasang orang yang memperlambat laju lalu lintas untuk meminta sumbangan. Sementara diseberang jalan (kadang jauh tempatnya) terdengar orasi (berhalo2 🙂 yang intinya “mohon sumbangan untuk pembangunan masjid ini” diiringi back-sound lagu Shalawat.
Berapa konsumsi listrik yang mereka gunakan untuk itu sepanjang hari? Menurut saya, niat dan motifasi mereka mungkin bagus. Tapi apakah cara mereka sudah bagus dan tepat? Saya pikir mereka butuh kemasan baru untuk meneruskan budaya itu. (*sarcasm mode) Sudah ngga jamannya lagi kalo meminta sumbangan dengan cara yang demikian.
Seperti halnya pengemis rutin yang datang ke kompleks perumahan tiap hari libur atau awal bulan. Bermodalkan baju santri plus peci yang dekil atau memang didekilkan, dia bawa bungkusan karung beras dengan separuh isi (entah apa isinya), rutin setor muka memelas di depan pagar rumah. Soal mental, mungkin mereka lebih strong dari salesman ataupun telesales yang ceriwis sekalipun. Tapi itulah mereka, tidak pernah kapok ditolak dan nagih terus. Ini juga masih banyak yang pro-kontra menyikapi pengemis beneran dan gadungan. Gimana kalau yang ditolak adalah pengemis beneran. Tapi pada prinsipnya sama saja mereka tetap pengemis. Seseorang yang kekurangan. Bagi pengemis beneran, mereka memang pengemis, karena kekurangan sumber daya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Juga bagi pengemis gadungan, sebenarnya mereka juga pengemis meskipun badan atau raga mereka segar bugar dalam usai yang masih produktif. Tapi mental mereka adalah memang pengemis dengan menjadikan mereka sendiri menjadi pengemis.
Menyikapi hal seperti ini, ada orang yang cari amannya saja dengan memnberikan upeti kepada siapa saja pengemis itu. Ah apalah artinya dengan apa yang saya sisihkan. ‘Siapa tau’ dia memang pengemis beneran. Siapa tau dia seorang ‘malaikat’ atau orang suci, atau seorang nabi (Nabi Khaidir) yang mengejawantah menguji keimanan dan memberi pelajaran kepada manusia. “Mana bisa dan apa gunanya saya perlu mengetahui apakah pengemis beneran apa gadungan. Toh yang jelas sudah didepan mata, dan mengganggu suasana. Biarlah dia cepat pergi kalo dikasih sesuatu.” Sekali lag itu semua soal ‘selera’.
Kalau diperpanjang lagi mungkin “ini semua kan problem sosial yang nyata di depan kita. Ini kan karena pemerintah tidak benar menjalankan amanat undang-undang dalam menangani kemiskinan. Jadi tidak ada salahnya kita ikut membantu”.
Terus terang saya bingung dalam menyikapi hal-hal tadi. Tapi intinya banyak hal yang sudah menjadi budaya dan terus dipertahankan meskipun sudah out-of-date, kadaluwarsa, dan perlu ditertibkan. Saya hanya ingin menyarankan kepada saya dan semua untuk selalu melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang akan didapatkan. Percuma kalau usaha yang kita lakukan dengan modal yang besar atau kebesaran, tapi justru membuahkan hasil yang tidak semestinya bahkan cenderung membawa efek negatif yang lebih besar. Saya kadang terkesan dengan ide-ide yang sebenarnya sudah usang, tapi karena dibungkus dengan package yang bagus dan canggih, dapat memberikan imbal hasil yang sangat besar jika dibandingkan dengan modal yang relatif sangat kecil.
Begitulah uneg-uneg saya ini yang ngalor-ngidul ngga karuan dan semoga juga tidak percuma.