Sebenarnya saya sudah baca buku ini sebulan yang lalu, tapi baru bisa saya tulis di sini sekarang. Ini juga setelah terprovokasi oleh beberapa tulisan di blog lain yang ‘ngomongin’ buku tersebut. Misalnya milik Pak BR, dan gombalannya Paman Tyo. Mungkin banyak juga yang sudah baca, tentu masing-masing memiliki penilaian tersendiri setelah baca buku itu.
Kalau menurut saya begini …
Saya sebenarnya cuma dikasih kesempatan me-review buku tersebut oleh teman saya, dengan kata lain — d i p i n j a m i — (hehehe mau bilang dipinjami aja muter2..). Ini karena dia tahu bahwa waktu itu saya mendadak jadi bujang, anak dan istri masih mudik di surabaya. Sehingga saya memiliki banyak waktu yang luang, setelah pulang dari kerja. Tadinya saya ogah2an untuk menerima pinjaman buku tersebut. Satu hari pertama, buku tersebut saya cuekin, hanya menjadi teman tidur saja. Hari kedua, dengan ‘terpaksa’ karena bingung mau ngapain, sambil terkantuk2 akhirnya saya mulai membacanya.
Sebelum membacanya, saya sudah persiapkan diri untuk tidak banyak berharap dari buku tersebut, karena tujuan saya hanya untuk mengisi waktu. Menurut saya, buku tersebut sangat ringan untuk dibaca, karena memang ngga tebal isinya, heheh. Isinya juga ringan banget, berkisah tentang satu benda, yaitu peci. Sebuah simbol yang sering dianggap mewakili komunitas Islam.
Dari sisi materi cerita, sebenarnya terlalu mengada-ada, dan seperti judulnya, buku itu hanya mendompleng ketenaran Da Vinci Code karya Dan Brown. Rosid, pemuda keturunan Arab yang bertampang kribo, selalu menolak untuk mengenakan peci. Akhirnya Mansur (Abah Rosid) menggunakan segala cara untuk menyadarkan Rosid untuk memenuhi keinginannya menyelamatkan tradisi leluhurnya. Mulai dari dari orang pinter, dikenalkan dengan ustadz muda, dan … akhirnya diusir dari rumah.
Penulisnya sepertinya mengulur-ulur jalan cerita dengan cara mendeskripsikan setiap detil lokasi setting cerita. Misalnya ketika menggambarkan perjalanan Rosid dari rumahnya menuju ke Taman Ismail Marzuki (TIM), tempat dia dan Delia, kekasihnya (yang berbeda agama) tersebut selalu bertemu di kedai kopi. Mungkin juga ini merupakan kelebihan penulis dalam mendeskripsikan setiap detil dan pojokan betawi, di mana etnis arab ini bermukim.
Yang agak membosankan adalah minuman kopi itu sendiri. Hampir semua minuman yang ditulis adalah kopi! Mulai dari pagi hari, di mana Mansur rutin minum kopi bikinan istrinya; menjamu teman ngobrol dan curhat mansur di tokonya. Kencan Rosid juga selalu ditemani minum kopi, meskipun di waktu siang bolong padahal setahu saya, siang hari di TIM begitu panas. (hehe jadi inget pernah tinggal sebulan dekat TIM).
Kata teman saya, buku tersebut harganya sekitar Rp 25.000. Bisa murah, bisa juga mahal tergantung cara memandangnya. Tapi secara overall buku tersebut menurut saya so-so aja. Memang ada beberapa kesan dan pesan moral dari beberapa dialog yang ada, tapi konflik nya terlalu sederhana dan mengada-ngada. Juga tidak terjadinya multi-konflik membuat jalan cerita tersebut menjadi datar, kurang greget. Sepertinya penulis dan editornya juga kurang teliti, mengingat banyak terdapat idiom, ungkapan yang diulang-ulang, misalnya cara mendiskripsikan si kribo, atau deskripsi ciri-ciri tokoh lain.
Terlepas dari itu semua, saran saya bacalah buku tersebut untuk mengisi waktu senggang, tapi seperti saya saja, pinjem alias baca gratis. Kalau buku tersebut dengan tag-line nya “Tidak Memukau Nalar, Tidak Mengguncang Iman”, “Kemungkinan best seller”, mendompleng ketenaran karya lain, maka fair dong kalau saya bacanya juga mendompleng alias pinjam… Heheh. Rasain!