Pragmatisme

Sumber gambar: unsplash.com.
 
Saya awali tulisan ini dengan idiom berbahasa Inggris, “A picture is worth a thousand words“.
 
Sebuah gambar memang dapat menyimpan informasi yang lebih kaya dibandingkan sebuah kalimat, apalagi sebuah kata. Sehingga banyak informasi atau data yang bisa disajikan jika dengan menggunakan gambar.

Orang terus belajar untuk dapat seefektif mungkin menyampaikan pesan. Bahkan bila perlu sebuah gambar dimanipulasi, diperkaya dengan detail lainnya untuk menyampaikan pesan yang lebih spesifik. Secara umum hal itu dapat diartikan sebagai pencitraan, yakni mengkondisikan gambar/citra agar “berbicara” pesan sesuai tujuan yang diharapkan.

Hanya saja istilah pencitraan terkesan berkonotasi dengan makna yang negatif. Mungkin karena banyak yang terjadi, justru manipulasinya lah yang berlebihan dari citra aslinya.
 
Demi tuntutan kehidupan manusia mutakhir, orang cenderung ingin cepat mengkonsumsi informasi (bahkan apapun?) secara efektif, efisien, dan mudah. Ini sejalan dengan ide budaya modern, yang mengharapkan semuanya menjadi praktis, meski kadang terkesan nge-pop dan terburu-buru.
 
Banyak hal prinsip yang kemudian menjadi instant, dan akhirnya lambat laun, semua hal akan menjadi pragmatis.
 
Dalam era yang instant, kadang orang terpengaruh menjadi membatasi upayanya untuk memahami lebih dalam, ke hal yang mendasar dari sebuah dan dibalik informasi.
 
Pragmatisme mendasarkan pada logika pengamatan atas fakta-fakta individual dan terpisah-pisah. Sebuah hal (termasuk informasi) akan menjadi benar ketika dia dapat memberikan hasil dan manfaat seperti yang diharapkan. Sedangkan fakta kebenaran sejatinya, yang kadang bersifat metafisik, tidaklah menjadi penting atau dipertanyakan.
 
Akibatnya (atau justru sebabnya?) kita memasuki era yang katanya darurat literasi. Sederhananya adalah seperti kita melompat-lompat dalam mendapatkan dan mencerna informasi; tidak utuh, karena berbagai alasan. Seperti dalam kejadian seseorang histeris menangkapi laron yang demikian banyaknya, yang datangnya dari mana saja.
 
Mirip dengan masa sekarang ini, di mana informasi mudah didapatkan dan berlimpah. Bagi yang tidak siap, ia akan menjadi gagap. Dalam dunia layanan informasi, jika sebuah mesin pemroses diberikan data yang melebihi kapasitas sumber dayanya, ia tidak dapat menjalankan fungsi layanannya. Mungkin terhadap manusia tidaklah seekstrim itu keadaannya.
 
Hanya saja, sebagian orang berpragmatis dengan membatasi kemauannya untuk mengkases informasi dari sumber yang dia mau.  Istilah picky-eaters bisa jadi tepat untuk hal ini. Lihatlah, produsen periklanan di dunia maya lebih mudah mendapatkan traffict ke lamannya, dengan menyajikan topik yang spesifik dan niche. Sebuah pendekatan pragmatisme yang rasional: buat sebanyak mungkin topik niche, pasang iklannya, dan…profit!
 
Dalam dunia nyata (offline), orang mempunyai cara untuk menyederhanakan hal-hal mendasar yang menurutnya mengganggu, dengan menjadikannya sesuatu yang mudah dipahami. Pelabelan makna, sterotype, sinonimitas atau alias dan personifikasi menjadi pendekatan yang mungkin tepat.
 
Lampu pengatur lalu lintas (traffic light) lebih mudah dipahami (dan diajarkan ke generasi baru) sebagai lampu perempatan, lampu merah, atau lampu bangjo. Mudah dan praktis; karena semua paham dan berpragmatis bahwa sebutan tadi adalah benar adanya yakni sesuai dengan fungsinya: mengatur lalu lintas.
 
Namun kadang sangkin pragmatisnya, justru lampu merah tadi dilupakan fungsinya. Hanya dipandang sebagaimana yang terlihat, yakni sebuah lampu, tanpa mau berpikir ke hal yang mendasar lagi, untuk apa dan mengapa lampu itu ada. Secara dangkal, hanya dinilai dari yang kasat mata. Traffic light kadang diabaikan fungsinya, dan dieksploitasi tempatnya untuk memberikan manfaat secara ekonomis.
 
Tentu banyak hal pragmatis lain di luar sana. Sebagai efek pencitraan (lebih elegan disebutnya kegiatan value-added terhadap citra kali ya, haha) orang menjadi ketagihan dengan yang bersifat visual, dan bisa jadi meninggalkan konteks dari informasi yang disajikan.
 
Di sebuah upacara, orang awam melihatnya bendera merah-putih lah yang dikibarkan, bukan bendera  sebagai lambang negara. Protokoler upacara bahkan sering menyampaikannya, sebagai pengibaran sang saka merah putih. Lebih terdengar patriotis dan roman.
 
Belakangan sedang heboh atas pembakaran sebuah bendera. Tentu bisa dilihat dari berbagai pendekatan, mau pragmatis atau bukan, bendera yang dibakar itu apakah lambang organisasi (HTI) atau simbol dasar ajaran (tauhid).
 
Saya sebenarnya tidak berminat membawa topik bendera tadi lebih jauh lagi. Semua pasti sudah punya pandangan, karena di manusia lah tempatnya berinterpretasi, memahami kebenaran dengan caranya sendiri. Lebih tepatnya lagi: dengan cara dan keyakinan sendiri-sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *